I am Tough Outside, FRAGILE inside


Sehari menjelang live in, ketika orang tua saya menjadi sangat “bawel” dan terus menanyakan hal-hal kecil seperti sudah bawa barang ini belum atau sudah dimasukkan ke tas belum yang itu, saya merasa begitu santai dan cuek saja menghadapinya. Mengapa? Karena saya berpikir bahwa saya adalah orang yang tangguh, mandiri dan mudah beradaptasi di segala macam kondisi. Sejak kelas 3 SD hingga kelas 3 SMP saya aktif sebagai anggota Pramuka. Kemping sudah merupakan hal yang sangat biasa bagi saya. Karena itulah saya merasa bahwa live in ini akan sama halnya dengan kemping. Akan terasa mudah bagi saya untuk menjalaninya karena saya sudah terbiasa kemping, di mana fasilitas hidup yang ada sangat terbatas.

Tapi ternyata… saya salah kira. Benar-benar salah duga. Live in jauh berbeda dengan apa yang saya bayangkan sebelumnya. Setelah perjalanan dengan bus selama 20 jam yang sangat melelahkan, saya bersama teman-teman tiba di Balai Desa Ngargosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, D.I. Yogyakarta. Hari itu juga, Sabtu, 21 Mei 2011, untuk pertama kalinya saya bertemu dengan orang tua asuh saya : Ibu Atmowarsito. Beliau sudah sangat tua tetapi masih tampak sehat dan masih mampu melakukan aktivitas rumah tangga sehari-hari.

Bersama dengan rekan saya, Chrestella, kami tinggal di rumah Ibu Atmowarsito yang berlokasi di Dukuh Tulangan. Kebetulan rumah yang saya tinggali ini letaknya berada di tengah-tengah bukit, hampir mendekati puncak gunung. Hari pertama sudah menjadi shock therapy bagi saya.Untuk datang ke Gereja Santo Ignatius Loyola, kami harus menempuh jarak 5 km dengan jalan kaki. Bisa dibayangkan bukan betapa melelahkannya? Apalagi dengan medan di daerah pegunungan yang mendaki atau menurun. Dan hal tersebut tidak hanya terjadi di hari pertama saja, tetapi juga untuk hari-hari berikutnya. Seperti misalnya saat hari Rabu Pon (26 Mei 2011) menurut hari pasaran Jawa, di mana kami harus pergi ke Pasar Totogan yang jaraknya mencapai 12 km.

Selama kurang lebih enam hari, dari tanggal 21-26 Mei 2011, saya pun menjalani rutinitas di Samigaluh. Walaupun segala sesuatu yang ada di sana sangat sederhana, tetapi bagi saya kehidupan di desa sangat nyaman untuk sejenak melupakan kebisingan dan polusi udara di Jakarta. Jujur saja, saya merasa kualitas hidup saya di desa jauh lebih baik daripada di Jakarta. Setiap hari saya bangun pagi dan mendapatkan udara segar pegunungan; makan tiga kali sehari 4 sehat 5 sempurna; snack yang bergizi macam tahu isi, bakwan tempe goreng dan bukannya sekedar potato chips; hingga olahraga dengan jalan kaki menempuh medan yang cukup berat.

Enam hari mungkin waktu yang singkat untuk menyelami kehidupan di desa, tetapi melalui live in ini saya merasa seperti mendapatkan tamparan keras dari Tuhan. Tuhan hendak menunjukkan kepada saya akan begitu berharganya kehidupan ini. Begitu banyak pelajaran dan pengalaman baru yang saya dapatkan selama live in, yang mungkin tidak akan pernah saya dapatkan di tempat mana pun.

Belajar aksara Hanacaraka

Awalnya, kami mengajari Anggi (cucu buyut ibu) dan Indah (cucu ibu) untuk membuat origami bentuk hati dan burung bangau. Ternyata mereka sangat antusias ketika kami ajari. Keesokan harinya, mereka menawarkan diri untuk mengajari kami aksara Jawa Kuna Hanacaraka. Saya cukup kagum dengan kesediaan dan juga kemampuan Anggi dan Indah, untuk mengajari kami aksara Jawa, padahal mereka berdua baru duduk di kelas 4 SD. Aksara Hanacaraka yang lengkapnya Hanacaraka Datasawala Padhajayanya Magabatanga itu bagi saya sangat sulit untuk dipelajari karena masing-masing mempunyai bentuk meliuk-liuk yang rata-rata hampir mirip bentuknya. Meski sulit, hal ini merupakan pengalaman yang sangat menarik dan juga langka untuk dilewatkan, bukan?

Hidup butuh perjuangan

Di Jakarta, seperti layaknya kota-kota lainnya, segala sesuatunya terasa mudah. Ingin membeli kebutuhan sehari-hari? Tinggal pergi ke minimarket yang ada di dekat rumah. Itu pun bisa ditempuh dengan menggunakan mobil ataupun kendaraan lain. Lapar? Tinggal telepon delivery service dan makanan yang kita inginkan pun akan tiba di rumah kita dalam waktu yang sangat singkat. Ingin mandi? Tinggal memakai shower dan bisa diatur apakah mau air hangat atau dingin. Semua terasa mudah, simpel dan praktis. Lain halnya dengan kehidupan di desa. Untuk mendapatkan kebutuhan yang kita inginkan, semuanya butuh perjuangan keras terlebih dahulu. Misalnya, di Samigaluh, untuk mencapai Pasar Totogan, orang-orang harus berjalan kaki menempuh jarak 12 km dulu untuk mencapainya. Untuk memberi makan ternak, harus mendaki gunung terlebih dahulu untuk mencari rumput. Masak menggunakan tungku kayu bakar. Dari sini, saya belajar bahwa hidup butuh perjuangan. Dan untuk mencapai kesuksesan, tentu tidaklah instan. Semua butuh proses dan perjuangan keras serta kemauan yang kuat untuk mencapainya.

Bersyukur

Ada sebuah quote berkata : “Don’t hate God for not giving what you want. Thank Him for giving what you need.” – Anonim. Mungkin quote ini paling tepat untuk menggambarkan apa yang sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Seringkah kita mengeluh tidak puas akan hidup ini? Marah kepada Tuhan karena kehidupan yang kurang baik? Saya juga sering melakukannya. Tapi coba tengoklah ke bawah, masih ada orang yang hidupnya diliputi kesulitan. Bandingkan dengan kita, kita mampu makan 3 kali sehari, bisa bersekolah, bisa membeli barang apapun yang kita inginkan. Sedangkan bagi mereka, mungkin makan cukup 3 kali sehari dan mampu menyekolahkan anak-anak sampai ke jenjang tertinggi saja sudah merupakan kepuasan tertinggi bagi mereka. Dengan menengok ke bawah, kita akan mampu untuk mensyukuri betapa hidup ini begitu berharga dan merupakan anugerah yang patut disyukuri bagaimanapun keadaannya. Bersyukur pula untuk segala kemudahan yang telah kita miliki di Jakarta.

Berlatih mengembangkan common sense dan menjadi pribadi yang sederhana

Rumah orang tua asuh saya terbilang semi permanen. Lantainya masih beralaskan tanah. Sebagian dindingnya sudah terbuat dari batu bata, meskipun masih ada yang menggunakan kayu. Kursi dan meja masih terbuat dari kayu yang sangat sederhana, tanpa polesan apa pun. Tidak ada pintu, yang ada hanyalah tirai-tirai sebagai penyekat tiap ruangan. Sebagai warga Jakarta yang lahir dan besar di Jakarta, di mana semua fasilitas yang ada sangat memadai bahkan terbilang mewah, ada baiknya kita juga mampu mengembangkan common sense. Kita mungkin berasal dari keluarga yang dari segi finansial berkecukupan. Tetapi dalam kondisi itu, jangan sekali-kali menyombongkan diri dengan semua yang kita miliki. Berusahalah menjadi pribadi yang sederhana dan memiliki common sense. Kenapa? Karena dengan memiliki common sense, kita akan mampu untuk bertahan dalam kondisi yang sangat terbatas sekalipun. Ingat, roda kehidupan akan terus berputar dan tidak selamanya hidup kita ada di atas terus. Kita tidak tahu kapan kita akan mengalami situasi yang sulit.

Saya… ternyata tidak setangguh yang saya kira

Setelah berjuang selama enam hari menjalani kehidupan di desa, akhirnya saya sampai pada satu kesimpulan, terutama bagi pribadi saya sendiri : bahwa ternyata saya tidak setangguh yang saya kira sebelumnya. Selama di desa, terkadang saya masih suka mengeluh dalam hati. Belum bisa menerima dan menghargai sepenuhnya keadaan yang ada di sana sehingga kadang butuh semangat ekstra untuk menjalaninya. Ketika harus berjalan dalam medan yang menanjak maupun menurun, saya sempat mengeluh merasa lelah. Saya kagum dengan ibu asuh saya, di usia senjanya, beliau masih kuat untuk naik-turun gunung, mengangkut rumput untuk pakan ternak seorang diri, bahkan memanjat pohon singkong untuk ditebang ranting-rantingnya.

Saya sangat bersyukur dan berterima kasih kepada pihak sekolah karena diberi kesempatan untuk mengikuti live in. Walaupun hanya enam hari, tetapi saya mendapatkan begitu banyak pengalaman baru dan juga pelajaran hidup yang sangat berharga. Saya berharap dapat membawa semangat yang sama dengan yang di desa untuk menjalani kehidupan saya di Jakarta.

Akhirnya, semoga pengalaman dan pelajaran yang saya dapatkan selama live in ini akan berguna untuk kehidupan saya di masa mendatang dan dapat menjadi bagian dari kesuksesan saya di esok hari kelak. Amin.

Comments

Popular posts from this blog

Pengalaman Tes PwC Indonesia - Risk Assurance Division

Pengalaman Seleksi Beswan Djarum 2014/2015 Jakarta

20 Alasan Kenapa Kamu Harus Jadi Beswan Djarum