To Ben I Shall Back

“The world is a book and those who do not travel read only one page.” – Augustine of Hippo

Dunia itu bagaikan buku dan mereka yang tidak berkelana hanyalah mereka yang membaca satu lembar halamannya. Quotes di atas adalah salah satu quotes favoritku. I am very interested in traveling, tapi sayang masih belum ada kesempatan; terutama dari segi finansial. Nah, karena aku belum bisa mewujudkan mimpiku untuk pergi traveling, aku punya satu cara praktis yang cukup jitu untuk mengatasi ke-desperate-an diriku dan betapa seringnya aku hanya bisa gigit jari saat melihat teman-temanku sudah bisa menuntut ilmu di negeri orang dan jalan-jalan melanglang buana.

Cara itu, tak lain tak bukan adalah…

Kartu pos.

What? So old-fashioned.


Iya. Kuno. Jadul memang kedengarannya. Di era teknologi yang super canggih seperti sekarang ini, aku masih saja hobi mengoleksi serta mengirimkan kartu pos ke random strangers all over the world via situs Postcrossing. Aku juga sering meminta teman-teman yang tinggal di luar negeri mengirimkan kartu pos khas negara mereka masing-masing.

Bagiku, postcard-lah yang membuatku bisa “menjelajahi” negara-negara di dunia (walau aku tahu hanya lewat gambar). Aku hobi mengoleksi postcard bertemakan UNESCO World Heritage Sites dan juga iconic places dari seluruh dunia. Lewat postcard aku jadi berani bermimpi untuk bisa benar-benar mengunjungi iconic places yang menjadi gambar di banyak postcard yang telah kukoleksi.

***

Hari itu, tak seperti biasanya, Pak Pos – yang selama ini setia mengantarkan surat dan kartu posku – mengetuk pagar pintu rumahku. Aku pun segera beranjak keluar rumah menuju pagar.

“Mbak, nih ada paket kiriman. Dari Inggris ini. Tumben gede banget paketnya. Tanda tangan di sini ya.” ujar Pak Pos sambil menyerahkan bukti pengiriman.

“Inggris? Ah. Makasih ya Pak,” ujarku setelah menandatangani bukti pengiriman.
***

Di kamar, aku tertegun mengamati paket dari Inggris tersebut.
Why England?
Jarang sekali aku mendapatkan kiriman paket sebesar ini. Apalagi dari Inggris. Perlahan kurobek kertas pembungkus paket yang berwarna cokelat tersebut. Isinya ada banyak : setumpuk postcard bertemakan Sherlock Holmes, sebuah notebook tebal ukuran A5 bersampul depan London Eye, sebuah jam tangan vintage, 5 kantong teh Earl Grey merk Twinnings dan satu postcard bergambar Big Ben dengan tulisan tangan yang tampaknya sangat old-style. Ah, mungkin yang mengirimkannya seorang kakek atau nenek dari London.

Dalam dunia kirim-mengirim postcard, memang sangat wajar apabila kamu – yang masih muda – dapat kiriman dari seseorang yang usianya berkali-kali lipat usiamu. Karena, in fact, di luar negeri yang hobi bertukar postcard itu ya mereka yang rata-rata sudah pensiun or in short, kakek dan nenek.

Dan satu lagi, tidak hanya bertukar postcard tetapi juga koin atau uang kertas, typical bag tea, atau juga magnet kulkas itu normal.

Tapi untuk yang satu ini, it seems so weird to me. Di paket itu, hanya tertulis nama Ben sebagai pengirimnya. Ben siapa pula ini? Yang jelas bukan Ben Kasyafani kan ya, nanti aku bisa kena marah sama Marshanda :p

Kucoba mengambil postcard Big Ben itu lalu perlahan aku mulai membacanya tulisan singkat di belakang gambar Big Ben-nya:

Dear Union Jack.
Tick tock tick tock take the clock.
To  Ben we shall back.
1854.


Wait.
Bunyi barisnya terdengar seperti sebuah Haiku.
Union Jack? Inggris?
Take the clock? Maksudnya ambil jamnya? Ah, jam tangankah? Lalu aku akan melintasi ruang dan waktu dan kembali ke Inggris abad 19? Semacam time traveler-kah? Atau nanti akan ada apparation ala Harry Potter?

Kepalaku dipenuhi beribu tanda tanya. Kalau ini beneran kejadian, berarti teori relativitasnya Einsten tentang ruang dan waktu itu tepat dong. Then I can build a time machine!

Oh no. It can’t be.

Iseng, kucoba saja memakai jam tangan itu di pergelangan tangan kiriku.

Satu detik… dua detik…. dua puluh detik… Nothing happens. Sudah kuduga ini cuma notes omong kosong belaka. Kerjaan orang Inggris bernama Ben yang iseng.

Tapi tunggu… perlahan-lahan kamarku mulai menghilang lalu aku seolah terhisap pusaran angin. Everything starts to fade out, lalu aku merasakan tidak lagi berada di kamar.
***

Samar-samar mulai terlihat Tower Bridge lalu Red Telephone Box yang famous itu di depan mataku. I’m literally in London, NOW! Bahkan gadis-gadisnya pun memakai dress bergaya Victorian (untungnya bukan lingerie ala Victoria Secret ya). Rupanya aku menginjakkan kaki di Inggris di era Victoria alias tahun 1830-an.

Aku mencoba menyapa orang yang berada di sekitarku. Nihil. Tak satupun yang mendengarku. Perjalanan waktu ke London ini rupanya hanya seperti kilasan scene-scene yang bergeser di hadapanku. Mirip seperti saat membaca buku sejarah tentang Inggris namun dalam versi visualnya. Namun semua terasa begitu nyata. Eh.. No… it’s more like…. Masuk ke pensieve seseorang, just like what Dumbledore did to Harry.

Dengan jelas aku bisa menyaksikan bagaimana Istana Westminster alias Gedung Parlemen Inggris itu hancur terbakar di bulan Oktober 1854. Tower Bridge masih utuh. Namun kulihat Big Ben belum ada di situ. Tiba-tiba ada satu hal yang menggelitikku, dapat ide dari mana sih pembuatan jam Big Ben ini? Apakah terinspirasi dari Jam Gadang? Masa sih? It seems impossible, secara Jam Gadang selesai dibangun 1926.

Ah, menara ini ternyata dirancang sebagai bagian dari rencana pembangunan istana baru yang digagas oleh Charles Barry. Pendirian Big Ben juga tak lepas dari peran seorang astronom kerajaan bernama Sir George Airy. Aku bisa melihat dengan jelas, bagaimana dia bersikukuh mengemukakan pendapatnya bahwa ia ingin ada suatu jam besar yang akurat, sesuai dengan perhitungan Royal Greenwich Observatory.

Banyak pembuat jam di era itu yang bersikap sinis dengan ambisi Sir Airy. Namun, dengan pantang menyerah ia merekrut seorang pengacara bernama Edmund Beckett Denison yang juga pakar horologi, atau ilmu penghitungan waktu, untuk merancang pembangunan jam raksasa tersebut. Desain jam besar itu kemudian dirancang oleh Denison dan dibuat oleh perusahaan E.J. Dent & Co. dan selesai pada 1854.

Fyi, nama menara jam ini sesungguhnya adalah Menara St. Stephen sedangkan Big Ben justru adalah nama lonceng yang ada di dalam menara jam tersebut. Big Ben adalah nama teknis dari Menara St. Stephen. Aku juga baru mengetahui bahwa ada dua dugaan tentang bagaimana asal mula menara jam ini kemudian dikenal sebagai Big Ben. Penjelasan yang paling mungkin adalah menara itu diberi nama seperti Benjamin Hall, insinyur yang namanya tertulis di lonceng. Tetapi sebagian orang Inggris meyakini menara jam itu dinamai seperti Ben Caunt, seorang petinju juara kelas berat 1850-an. Well, apapun asal mulanya, let Big Ben be called Big Ben.

Lanjut lagi ke perjalanan waktuku. Aku menyaksikan bagaimana pembangunan Big Ben dilaksanakan. Puncak menara jam ini ditopang dengan rangka besi yang dibuat dengan rangka besi yang dibuat dari besi leleh. Sesuai rencana, menara jam ini akan dibangun dengan gaya Gothic Victoria di atas tanah berukuran 15 meter kali 15 meter dan tingginya akan mencapai 96,3 meter serta berlokasi di kompleks Gedung Parlemen Westminster; persis di tepi Sungai Thames.

And. Voila.

Lima tahun kemudian, tepatnya pada 31 Mei 1859, Menara St. Stephen selesai dibangun dan akhirnya dipasangi sebuah jam raksasa sebesar lebih dari 13 ton, yang diderek dengan bantuan 16 ekor kuda. Saat pembangunan mencapai tahap finishing, aku baru tahu kalau loncengnya – si Big Ben itu – seluruhnya dilapisi dengan emas. Dan di bagian bawah di keempat sisi jam, terdapat tulisan "Domine Salvam Fac Reginam Nostram Victoriam Primam", yang berarti "O Lord, keep safe our Queen Victoria the First." Big Ben ternyata juga dibangun dalam rangka penghormatan kepada Ratu Victoria.

Aku terperangah sambil melafalkan “Wah…” tanpa sedikitpun bersuara. Aku kagum dengan Big Ben yang berdiri kokoh. Malam itu di London, Big Ben terlihat sangat menawan hati. Ia setia berdiri tinggi menjulang di samping Istana Westminster yang menakjubkan. Pemandangan yang ada di hadapanku sekarang: Istana Westminster, Tower Bridge, Thames River, Trafalgar Square, Red Telephone Box dan… Big Ben. Sebuah panorama yang kita semua tahu, “London banget!” Dan kehadiran Big Ben semakin melengkapi indahnya arsitektur kota London.

Yang kubaca dari Internet, Big Ben ini terkenal karena ketepatannya. Kucoba mencocokkan jam di jam tanganku dengan jam di Big Ben; oh iya, tentunya nanti akan kutambahkan GMT +7 setelah waktunya cocok dengan Big Ben. Belum selesai aku mencocokkan waktu, tiba-tiba Big Ben, Tower Bridge dan hal-hal di sekelilingnya mulai memudar dari hadapanku.

Oh shit! Not now, please! Aku bahkan belum sempat mendengar seberapa keras bunyi dentangan lonceng Big Ben itu! Kurang 5 menit lagi sebelumnya jarum panjangnya menyentuh angka 12!

***

Aku kembali lagi di kamarku. Kucoba mengotak-atik jam tangan yang masih terpasang di pergelangan tangan kiriku, berupaya supaya jam itu kembali berfungsi. Masih ada misi yang harus kuselesaikan di London dengan Big Ben!

Namun semua usahaku tak membuahkan hasil.

Rasa penyesalan pun datang menyergap. Beribu “what if” memenuhi rongga kepalaku… Sesak. Tak ada yang bisa kulakukan lagi, kecuali…
   
Dear God, I’m dying to go to London… because to Ben I shall back!

***



Tulisan ini disertakan dalam kompetisi blog "Ngemil Eksis Pergi Ke Inggris" oleh Mister Potato

Comments

  1. hai nia..
    i just realized we have the same dream. lol!
    uda lama bgt kita ngga ngobrol haha padahal dulu lo itu partner terbaik desain grafis gw hahaha.
    shall we go to london someday, together? LOL :p

    ReplyDelete
  2. @Rheta :
    halo juga rhetaaa :D hahaha apa kabarnya nihh? iyaa nih semoga someday bisa beneran ke sana hihi :D

    ReplyDelete
  3. baik2 hahaha. ga menyangkaa kita berdua dulunya anak ipa dan sekarang terdampar di fakultas ekonomi hahaha!

    good luck buat ke inggrisnya! kalo emang berhasil ke inggris jgn lupa crita2 >.< hahaha

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pengalaman Tes PwC Indonesia - Risk Assurance Division

Pengalaman Seleksi Beswan Djarum 2014/2015 Jakarta

20 Alasan Kenapa Kamu Harus Jadi Beswan Djarum