Keberagaman yang Dibingkai Kebhinekaan

Berikut adalah tulisan saya dan kawan saya, Felicia Janice Irfan mengenai seminar bertajuk "Pancasila dan Pluralisme" yang diselenggarakan di sekolah saya, SMA Santa Ursula Jakarta, 13 Desember 2011 lalu.

******

Apa yang terlintas di pikiran Anda setelah mendengar kata “pluralisme”? Kemajemukan? Keanekaragaman? Ya, semua benar. Secara spesifik, pluralisme adalah sebuah kondisi di mana kelompok minoritas secara penuh ikut berpartisipasi dalam hidup bermasyarakat dan bernegara bersama dengan kelompok mayoritas, masyarakat dimana perbedaan-perbedaan keyakinan dan budaya dihargai.

Kita hidup di tengah masyarakat Indonesia yang plural. Kita beruntung punya prinsip pluralitas yang dibingkai dalam "Bhinneka Tunggal Ika". Pluralisme di negeri kita ini punya basis historis, filosofis, dan sosiologis. Indonesia adalah negara yang mempunyai tingkat pluralitas yang sangat tinggi yang ditandai dengan keanekaragaman agama, yang berpotensi menimbulkan konflik. Dewasa ini, seringkali kita melihat banyak kasus diskriminasi terhadap etnis tertentu dan juga kasus-kasus yang sama sekali tidak menunjukkan adanya toleransi akan kemajemukan bangsa Indonesia, misalnya peristiwa pembakaran Gereja di Temanggung, kasus GKI Yasmin di Bogor, dan lain-lain.

Bertolak dari kenyataan akan kurangnya penghargaan terhadap keberagaman inilah, pada hari Selasa, 13 Desember 2011, diadakan seminar bertajuk “Pancasila dan Pluralisme“. Seminar yang diselenggarakan oleh kelas XI dan XII IPS SMA Santa Ursula ini mengundang tiga orang narasumber yang Adapun ketiga narasumber tersebut adalah Bapak Basuki “Ahok” Tjahja Purnama, Bapak Zuhairi Misrawi dan Maria Restu Hapsari. Seminar dipandu secara apik dan komunikatif oleh Rosiana Silalahi, presenter kondang yang juga merupakan alumni SMA Santa Ursula. Secara umum, seminar yang juga mengundang beberapa SMA lain di Jakarta ini berjalan lancar, walaupun acara dimulai sedikit terlambat dari jadwal.

Seminar diawali oleh materi dari Bapak Basuki “Ahok” Tjahja Purnama, yang saat ini menjabat sebagai anggota Komisi II DPR RI. Jika selama ini warga Tionghoa memilih wirausaha sebagai jalan hidupnya dan seolah “alergi” dan tidak mau ikut campur dalam dunia politik, sejak reformasi, tak jarang politisi muda Tionghoa menunjukkan kemampuannya. Salah satunya adalah Pak Ahok ini, yang sukses menduduki jabatan sebagai bupati Tionghoa pertama di Kabupaten Belitung Timur yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Pada Pemilu 2004 Pak Ahok mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dan terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Belitung Timur periode 2004-2009. Tidak berhenti disitu, pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Belitung Timur tahun 2005, perolehan suara 37.13 % mengantarkan Pak Ahok menjadi Bupati Belitung Timur definitive pertama saat itu.

Dalam seminar ini, beliau mengemukakan mengenai 4 pilar dalam bernegara, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika. Menurut Pak Ahok, Generasi muda harus percaya bahwa 4 pilar bukanlah wacana dan mereka juga harus mengerti bahwa 4 pilar layak diperjuangkan. Generasi muda harus mampu terjun langsung ke masyarakat. Apabila kita meyakini dan mau memperjuangkan 4 pilar tersebut, maka kita dapat mendirikan sebuah “rumah” yang utuh di atas tanah Indonesia ini.

Presiden Amerika ke-16 Abraham Lincoln pernah mengatakan bahwa apabila kita ingin mengetahui karakter sejati seseorang, beri dia kekuasaan. Kata-kata inilah yang membuat Pak Ahok senantiasa memperjuangkan kepentingan rakyat melalui kekuasaannya yang didapatkannya. Selama 7 bulan menjabat sebagai anggota DPRD, Pak Ahok banyak melakukan terobosan, Antara lain ia membebaskan biaya pendidikan dan biaya kesehatan bagi warganya. Beliau juga menjadikan Belitung Timur sebagai satu-satunya kabupaten di Indonesia yang mempunyai jaminan kesehatan bagi masyarakat sebagai hasil kerjasama pemerintah daerah yang dipimpin Pak Ahok dengan PT Askes. Bahkan ia memotong anggaran perjalan dinasnya hanya menjadi seperlima agar bisa membantu masyarakat kecil.

Pak Ahok juga secara periodik melaporkan seluruh penghasilannya beserta pajak yang harus dibayarkannya kepada masyarakat secara transparan dan bersih. Tak hanya itu, beliau juga memberikan nomor handphonenya sehingga apabila masyarakat membutuhkan bantuannya, ia akan dengan sigap membantu. Dalam pandangannya, masyarakat zaman sekarang tidak percaya lagi dengan para pejabat yang berkuasa. Masyarakat beranggapan bahwa siapapun pejabatnya sama saja dan mereka menjadi bersikap apatis terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini mendorong Pak Ahok ingin melakukan suatu pelayanan terhadap rakyat agar rakyat tidak lagi sengsara.

Lebih lanjut menurut Pak Ahok, sebuah negara bisa runtuh karena banyak pejabatnya yang melakukan suap. Oleh karenanya kita harus konsisten dalam mempertahankan apa yang kita yakini dan harus mempercayai 4 pilar negara Indonesia tersebut. Tantangan yang dialami Indonesia saat ini adalah kurangnya individu yang mempunyai karakter yang kuat yang meyakini kebhinekaan. Kita harus mampu menjaga kebhinnekaan Indonesia karena Indonesia tidak dibentuk berdasarkan SARA yang merupakan penghalang kemajuan bangsa.

Narasumber kedua adalah Zuhairi Misrawi atau yang akrab disapa Gus Mis. Beliau adalah Ketua Moderate Muslim Society (MMS), intelektual muda Nadhlatul Ulama (NU), tergabung dalam Lingkar Muda Indonesia (LMI) dan juga aktif sebagai jurnalis. Gus Mis dalam seminar berdurasi 3,5 jam ini menerangkan mengenai kebhinnekaan yang berbasis keagamaan. Menurutnya, sebagai kaum mayoritas di Indonesia, yakni sebagai penganut Muslim, tanggung jawabnya sangat besar karena harus mengayomi dan melindungi kaum minoritas. Kalau terjadi sesuatu, yang harus bertanggung jawab adalah kaum mayoritas.

Indonesia adalah negara majemuk, baik dari segi etnis, bahasa, budaya dan agama. Tidak ada seorang pun yang dapat mengubah kemajemukan Indonesia. Maka dari itu harus kita syukuri sebagai potensi. Indonesia adalah satu-satunya negara di mana masyarakatnya dapat hidup dengan nyaman hidup dalam kemajemukan dan memiliki potensi toleransi yang sangat tinggi. Hal seperti ini tidak dapat kita temukan di negeri tetangga macam Malaysia, ataupun Timur Tengah. Di Malaysia, contohnya, seseorang pindah agama dari Islam ke Kristen akan dipenjara seumur hidup.

Gus Mis berpendapat bahwa orang yang beragama adalah suatu anugerah, apapun agamanya itu. Adapun contoh toleransi keberagamaan lainnya adalah Masjid Istiqlal, di mana arsiteknya ternyata adalah orang Katolik dan juga potret khas di Indonesia di mana kita sering menemukan gereja dan masjid letaknya berdekatan. Menurut Gus Mis, ada 5 makna Bhinneka Tunggal Ika :
1. Mengakui kemajemukan
2. Menghargai perbedaan setiap makhluk Tuhan
3. Membangun sikap gotong-royong
4. Mengukuhkan persatuan kebangsaan
5. Menumbuhkan kemanusiaan
Kelima poin ini sangat dibutuhkan bagi masa depan Indonesia yang menghargai keberagaman.

Seperti yang kita ketahui bersama, akhir-akhir ini ancaman radikalisme dari sejumlah kelompok fanatik tertentu dan intoleransi makin eskalatif di Indonesia. Ancaman semacam ini patut kita waspadai karena dapat memecah-belah persatuan bangsa. Adapun tantangan radikalisme (paham yang menebarkan kekerasan atas dasar agama) antara lain adalah :
1. Restriksi atau penolakan status dan akses yang sama terhadap kelompok lain
2. Pandangan yang menganggap kelompok lain lebih rendah (de-humanization)
3. Mengabaikan hak sipil, politik dan ekonomi (opresi)
4. Penyerangan dan melakukan pembunuhan
5. Pengorganisasian pembunuhan massal
6. Genosida

Gus Mis juga mengungkapkan pandangannya tentang indikator toleransi di suatu negara :
1. Hidup berdampingan secara damai (co-existence)
2. Keterbukaan perihal pentingnya kelompok lain (awareness)
3. Pengenalan terhadap kelompok lain sembari melakukan dialog (mutual learning)
4. Pemahaman atas kelompok lain (understanding)
5. Pemahaman, pengakuan dan memberikan kontribusi pada kelompok lain (respect)
6. Penghargaan pada persamaan dan perbedaan, serta merayakan kemajemukan yang tampak dalam Bhinneka Tunggal Ika (value and celebration)

Agama Islam menyikapi pluralisme dengan meyakini bahwa setiap manusia adalah khalifah. Khalifah adalah pemimpin atau makhluk yang agung. Oleh karena itu jangan pernah merasa inferior karena setiap dari kita adalah pemimpin. Selain itu, membangun saling pengertian, menebarkan kasih sayang, mengutamakan perdamaian dan membangun dialog antar umat beragama adalah poin-poin yang penting dalam mewujudkan pluralisme. Konflik-konflik yang ada muncul karena tidak adanya pengertian antara sesama warga negara. Adapun hal terpenting dalam pandangan Islam adalah pentingnya membangun dialog antar umat beragama. Dahulu, Nabi Muhammad pernah mengajak kaum Kristen Nazrod untuk melakukan kebaktian di masjid pada hari Minggu. Hal ini membuktikan bahwa sudah sejak lama Islam telah mempercayai bahwa dialog antarumat beragama sangat penting.

Dalam menghadapi radikalisme, sebaiknya kita memberikan arti kasih, sentuh hati mereka, ajak mereka berdialog dan coba untuk menerima kekurangannya. Penganut Islam fanatik yang kadang bertindak anarkis terjadi karena dua faktor. Yang pertama adalah faktor pendidikan yang rendah dan faktor kedua adalah faktor ekonomi yakni kemiskinan. Kasus-kasus pembakaran Gereja, fatwa yang mengharamkan sesuatu dan lain-lain tentu menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap keberagamaan agama. Di Indonesia, beribadah bersifat konstitusional. Sudah selayaknya kita memberikan mereka hak untuk beribadah sesuai dengan apa yang diyakininya.

Narasumber terakhir adalah Maria Restu Hapsari. Beliau adalah perempuan Katolik pertama yang menjabat sebagai Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) pada tahun 2004 dan sekarang aktif sebagai kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Beliau juga aktif dalam Kerasulan Awam (Kerawam) KAJ. Dalam seminar ini, Ibu Restu mengajak para siswa untuk mengevaluasi diri apakah sudah melaksanakan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap butir Pancasila. Sebagai contoh, dalam pengamalan sila pertama beliau menanyakan kepada kami apakah kami telah memiliki teman yang berbeda agama dan pernahkah membuat kegiatan bersama teman yang berbeda agama.
Ibu Restu juga menjelaskan mengenai mengapa banyak terjadi tawuran pelajar akhir-akhir. Hal ini terjadi karena para pelajar yang melakukan tawuran tersebut tidak pernah mengemukakan pendapat sehingga ketika mendengar pendapat orang lain yang berbeda, siswa tersebut menjadi emosional dan akibatnya hal sepele pun dapat berakhir dengan perselisihan. Sebaliknya, apabila seseorang terbiasa mengungkapkan pendapat, apabila terjadi beda pendapat, maka orang ini akan lebih dewasa dan tidak lagi emosional.

Seminar diakhiri dengan kesimpulan yang sangat singkat namun mengena oleh Rosiana Silalahi selaku moderator. Rosi menyimpulkan bahwa setiap konflik berlandaskan SARA diawali dari stereotip atau prasangka buruk kita. Selama kita menilai orang lain berasal dari prasangka, kita sudah memulai konflik itu. Selain itu, sebagai umat beragama kalau tidak mendapatkan ucapan selamat hari raya dari umat agama lain, jangan terlalu sensitif. Setiap dari kita memiliki potensi untuk bertindak rasis dan diskriminatif ketika kita ada di kelompok kita. Suatu saat, kita pasti akan berada di kelompok mayoritas sekaligus minoritas. Bagi kaum minoritas, jangan pernah merasa minder dan juga tahu diri, contohnya sebagai penganut agama Katolik, harus tahu diri untuk tidak makan sembarangan di depan orang Islam yang sedang menjalankan puasa. Rosi juga berpesan kepada seluruh siswa yang menghadiri seminar untuk menjadi teladan dan penggiat pluralisme dimulai dari hal-hal kecil di sekitar kita.

*******

Melalui seminar “Pancasila dan Pluralisme” ini, banyak sekali pembelajaran dan nilai-nilai hidup yang kami dapatkan, antara lain :
1. Belajar dari pengalaman Pak Ahok, yang walaupun adalah seorang Tionghoa yang akrab dengan stereotip kaum minoritas, beliau berani mencoba melawan mainstream dan akhirnya sukses dengan apa yang diyakininya dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.
2. Meyakini dan memperjuangkan 4 pilar dalam bernegara yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
3. Sebagai generasi muda kita juga harus terjun langsung untuk dapat mengenal lebih dalam lagi dunia kemasyarakatan dengan mengikuti organisasi-organisasi yang ada, misalnya ikut OSIS di sekolah, dll.
4. Lebih menghargai dan menghormati sesama kita yang berbeda latar belakang, suku, agama, ras, dll. Tidak ada salahnya mencoba berdialog dan belajar pandangan-pandangan agama mereka atau lebih lanjut lagi saling bertukar pengetahuan.
5. Berpikir lebih terbuka dan rasional sehingga membuat kita menerima adanya perbedaan dan keanekaragaman yang merupakan realita bangsa kita, dan membuat pluralitas tersebut menjadi sumber kekuatan bangsa sehingga kita semua menjadi satu dalam persatuan Indonesia.
6. Setiap konflik berawal dari prasangka buruk kita akan orang lain. Ketika kita sudah men-judge orang dengan hal-hal yang negatif, maka konflik itu sudah dimulai. Oleh karena itu, cobalah untuk selalu berpikir positif dan menghilangkan semua prasangka buruk.

Pada akhirnya, potensi pluralitas yang dimiliki Indonesia harus kita jaga sebaik-baiknya dalam menciptakan kerukunan antarmasyarakat yang berbeda agama, etnis, suku, golongan, dll. karena merupakan salah satu kekuatan bangsa kita. Dalam beberapa tahun belakangan ini, kesadaran akan nilai-nilai Pancasila dan pluralisme seolah semakin memudar. Masih sering terjadi diskriminasi terhadap agama tertentu dan pengabaian akan pluralitas. Pancasila yang merupakan jati diri bangsa juga kerap disalahartikan, dipandang sebelah mata dan terancam oleh ideologi lain. Kalau bukan kita, lalu siapa lagi yang peduli terhadap nilai-nilai Pancasila dan pluralisme? Sebagai tunas-tunas bangsa, hendaknya kita mampu menjadi teladan dan penggerak pluralisme di tengah masyarakat Indonesia. Bersama kita bingkai keberagaman di negeri ini dengan kebhinnekaan.

*******

Comments

Popular posts from this blog

Pengalaman Tes PwC Indonesia - Risk Assurance Division

Pengalaman Seleksi Beswan Djarum 2014/2015 Jakarta

20 Alasan Kenapa Kamu Harus Jadi Beswan Djarum